Senin, 28 November 2016

Mendambakan Air, Warga Sukutokan Bikin Ritual Adat

Senin (28/11/2016), di desa Sukutokan Kecamatan Kelubagolit Kabupaten Flores Timur berlangsung Upacara Adat untuk mendukung pengeboran sumur air tanah. Ritual adat tersebut dilakukan oleh tokoh adat dari suku Maharia, Suku Lamatwelu dan Suku Lamatokan. Ketiga simpul ini adalah kekuatan kultural kampung halaman selain suku-suku seperti Bahy, Lamawuran, Lewokeleng, Lamapaha, Tuawolo, Lamablawa dan suku-suku lain yang mendiami desa Sukutokan.
Ritual Adat ini dilakukan sebagai tanda penghormatan terhadap Tuhan dan Leluhur serta alam yang menyediakan air di perut bumi. Tradisi ini sudah turun temurun dan sangat sakral sehingga wajib dilaksanakan.
Tokoh adat dari Suku Maharia, Mathias Kopong Sili sekaligus sebagai pemilik tanah ulayat tepat di titik pengeboran mengatakan, Sukutokan saat ini sangat kesulitan air bersih. Oleh karena itu dirinya tidak sedikitpun menolak jika lahannya diminta untuk dihibahkan kepada pemerintah sebagai lokasi pengadaan sumur bor bantuan Dinas Pertambangan dan Energi Provinsi Nusa Tenggara Timur.

“Saya atas nama para leluhur Maharia dan seluruh saudara-saudaraku dengan iklas membuka tangan sambil memohon sekiranya Tuhan dan Leluhur Lewotana memberikan jalan yang lapang agar pengeboran ini mendapatkan sumber air yang banyak untuk memenuhi kebutuhan seluruh masyarakat desa Sukutokan. Sebagai tokoh adat di tanah yang keramat ini, saya ajak kita semua untuk mengikuti tata cara ritual adat yang ada, dengan penuh hikmat dan sungguh-sungguh sehingga perjuangan bisa mencapai tujuan bersama,” ujar Ama Tias.

Ia menambahkan, sejak tim kerja yang diutus pemerintah desa Sukutokan menyampaikan maksud ini, dirinya menyatakan setuju dan sudah melakukan ritual adat “tutun padu” atau menyalakan damar di rumah adat Maharia untuk memohon petunjuk dari leluhurnya. Hasilnya ada tanda-tanda yang meyakinkan untuk dilakukan pengeboran tersebut. Setelah itu ia sendiri yang menandatangani surat persetujuan pelepasan hak atas sebidang tanah berukuran 6 m × 6 m kepada Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur. Setelah itu masih dilakukan ritual adat lanjutan yang disebut dengan ‘Pao Nuba’ atau penyembeliham kurban berupa kambing dan babi masing-masing satu ekor untuk meemberi makan arwah leluhur di rumah adat suku Maharia. Peristiwa mulia ini terjadi pada hari ini yang disaksikan warga Sukutokan.

Hal senada disampaikan Markus Masan Samon, tokoh adat suku Lamatwelu yang mewakili rumah adat Kloung. Bertempat di “Oring Lolok” atau pondok keramata Suku Maharia Samon mengatakan, Rumah Adat Kloung bersama seluruh leluhur pasti mendukung niat baik ini.

“Mudah-mudahan kegiatan pengeboran pada hari ini berjalan lancar sampai seterusnya. Kita berdoa kepada Tuhan dan Lluhur Lewotana agar keberadaan air yang dalam bisa didekatkan, segala hambatan di dalam tanah bisa dijauhkan,” demikian Masan Samon menyatakan.
Selain dua suku sebagai simpul kekuatan kampung halaman Sukutokan, suku yang keberadaannya juga menjadi simpul penting yakni suku Lamatokan. Markus Masan Tokan yang mewakili Suku Lamatokan juga senada dengan dua tokoh adat sebelumnya. Ia kembali menegaskan bahwa upacara adat yang berlangsung hari ini adalah sebuah keharusan, dan dirinya yakin setelah semua urusan adat beres, permohonan warga untuk mendapatkan sumber air dapat terjawab. Oleh karena itu Tokan meminta kepada seluruh masyarakat adat Sukutokan wajib mendukung dalam setiap doa baik kepada Tuhan maupun kepada para leluhur.

Selesai pernyataan adat dari pata tokoh adat, acara yang langsung dipandu Kepala Desa Sukutokan, Laurensius Baro Bitan di lanjutkan dengan “Bau Lolon” atau menuang tuak ke tanah untuk mengesahkan semua permohonan sekaligus sebagai tanda memberi makan dan minum terlebih dahulu kepada leluhur. Acara selanjutnya, tokoh adat dari suku Maharia memotong hewan kurban tepat di lokasi pengeboran agar darah hewan tersebut membasahi tanah yang hendak di bor yang dalam istilah adat dikenal dengan sebutan “Tuki Tanah” atau melukai bumi.

Seremoni selanjutnya adalah hewan kurban yang sudah dipotong, diambil bagian hati dan jantung sebagai sesajian di rumah adat Maharia. Dalam bahasa setempat dikenal dengam sebutan “Pao Nuba”.

Setelah semua seremonial adat mencapai titik puncak, para tenaga teknis yang mengendalikan mesin untuk pengeboran memasang semua perlengkapan mulai dari menyetel mesin, memasang mata bor, menggali lubang sirkulasi air dan lain lagi urusan teknis. Setelah semuanya selesai, jelang sore hari, disaksikan warga yang berjubel, pengeboran pertama berhasil dilakukan. Uji coba ini berhasil menembus kedalaman empat meter dan diperkirakan dalam tempo tiga minggu, kedalaman yang menjadi perkiraan titik air bisa dicapai +++ humas pemdes sukutokan

1 komentar:

  1. Air menjadi keluhan masyarakat desa ukutokan dari tahu ke tahun. keluhan ini ditanggapi serius oleh pemerintah, sehingga sudah dilakukan pengeboran sumber air yang tepat di desa Sukutokan sendiri. dalam perjalanan proses pengeboran selalu saja halangan ditemui sehingga menghambat kelancaran proses. Di satu sisi saya melihat bahwa kurang adanya kelanjutan "bau lolong leta neten" dari tokoh adat yang sudah melakukannya pada saat permulaan "tanah bungan ekan mei".
    Saya berpendapat...bahwa kita yang namanya awam dalam hal survei ttg ada atau tidaknya sumber air tanah di daerah kita...pasti yakin dengan temuan para ahli. tetapi bagaimanapun kita juga harus tetap berdoa agar prosesnya tetap lancar dan mendapatkan air yang layak digunakan oleh seluruh masyarakat kita. atas dasar ini saya minta kepada semua pemangku adat di lewotanah sukutokan jangan berhenti berdoa,,, yaitu dengan melakukan "behin bau lolon" agar leluhur kita merestui usaha kita mendapatkan air yang sangat kita dambakan ini... terimakasih...maafkan saya kalau kurang berkenan....selamat dan suksessssssss

    BalasHapus